BILA rasa malu telah sirna dalam diri seseorang, maka akan lahirlah prilaku yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah Ta’ala. Seseorang akan terang-terangan mengkonsumsi makanan yang haram karena tidak memiliki rasa malu lagi terhadap larangan Allah. Seseorang sengaja meninggalkan shalat karena tidak ada lagi rasa malu di hadapan perintah Allah. Seorang wanita akan mengumbar auratnya lantaran tidak ada lagi rasa malu yang menyertainya.
Bila seseorang yang tidak memiliki rasa malu terdapat perintah dan larangan Allah, maka diibaratkan hati orang tersebut telah mati. Menurut penuturan Imam Ibnul Qayyim, “Al-Haya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang.
Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.
Bila rasa malu telah sirna dalam diri seseorang, maka ia akan terdorong untuk melakukan perbuatan sesuka hatinya, tanpa memperdulikan larangan. Sebab, tidak ada lagi rem baginya. Dalam benaknya terpampang slogan : Serba boleh. Benarlah apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam, “Sesungguhnya di antara kalimat kenabian pertama yang sampai ke tengah-tengah manusia adalah: “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Saking pentingnya rasa malu ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam mengategorikannya sebagai bagian dari iman seseorang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Iman itu ada 60 lebih (atau 70 sekian) cabang. Iman yang paling utama adalah [ucapan] Laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, sedangkan malu termasuk cabang dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Abbas mengatakan, “Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.”
Bagi kaum wanita, rasa malu adalah ciri khasnya yang menunjukkan ketinggian akhlaknya. Ini dikarenakan seorang wanita memiliki satu tabiat yang cenderung untuk malu. Bahkan, bagi seorang gadis, ketika ia dilamar seorang laki-laki, maka diamnya itu adalah sebuah jawaban. Diam yang dilandasi rasa malu untuk terus terang mengungkapkan isi hatinya.
Berikut kami ketengahkan beberapa contoh gambaran nyata para wanita yang memiliki rasa malu luar biasa yang patut menjadi panutan bagi setiap Muslimah:
Aisyah RA
Ketika Umar bin Khtaththab RA dimakamkan di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam dan Abu Bakar RA, maka Aisyah RA senantiasa mengenakan hijab dan penutup wajahnya. Suatu saat ia ditanya, “Bibi, mengapa engkau melakukan hal seperti ini, padahal engkau berada di rumahmu sendiri?” Aisyah menjawab, “Dia (yakni Umar bin Khaththab) adalah orang asing bagiku (bukan mahram).”
Aisyah RA sadar betul, ketika sahabat Umar bin Kaththab RA dimakamkan di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam di dalam kamarnya, berarti ada orang lain yang bukan mahramnya yang tidak pantas untuk menampakkan aurat di hadapnya. Padahal, kita tahu bahwa saat itu Umar bin Khaththab telah wafat. Namun, demikian karena didorong rasa malu yang tinggi, membuat Aisyah RA senantiasa menutup auratnya. Subhanallah.
Ummu Kultsum binti Ja’far bin Abi Thalib RA
Suatu hari, Ummu Kultsum binti Ja’far bin Abi Thalib RA, yang saat itu berusia 5 tahun, menemui Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Saat itu, bajunya terjulur di belakangnya sejengkal atau lebih sedikit. Umar pun ingin bercanda dengannya, lalu ia mengangkat baju Ummu Kultsum hingga terlihat telapak kakinya. Maka, Ummu Kultsum berkata, “Ah, sekiranya engkau bukan Amirul Mukminin, sungguh aku akan memukul wajahmu.”
Subhanallah, meski baru berusia 5 tahun, Ummu Kultsum berusaha untuk senantiasa menutup auratnya. Apa gerangan yang mendorongnya untuk mengambil sikap itu? Jawabnya adalah rasa malu yang senantiasa menyertainya.
Fatimah RA
Ketika Fatimah RA sakit yang menghantarkan kepada kematiannya, Asma’ binti Umais RA menjenguknya. Lalu, Fatimah berkata kepada Asma’, “Demi Allah, sungguh aku sangat malu bila besuk (yakni ketika meninggal) tubuhku terlihat di hadapan para laki-laki dari balik papan ini.”
Pada masa itu, biasanya mayat diletakkan di atas papan, lalu ditutupi kain, namun masih menampakkan lekuk tubuh mayat.
Maka, Asma’ berujar kepadanya, “Atau, apakah engkau menginginkan kami membuatkan tempat khusus dari kayu.” Lalu, Asma’ membuatkan alat untuk membawa mayat yang samping kanan kirinya di beri papan yang mirip dengan kotak kayu. Lalu, ditutupi dengan pelepah kurma basah. Lalu, di atasnya diletakkan kain yang lebar yang tidak menampakkan tubuh mayat. Ketika Fatimah melihatnya, ia berujar kepada Asma’, “Semoga Allah menutupimu, sebagaimana engkau telah menutupiku.”
Subhanallah, sebuah kehatian-hatian yang luas biasa. Tidak bisa dibayangkan betapa mulia cara pandang Fatimah RA yang muncul dari rasa malu yang senantiasa menyertainya. Semoga Allah Ta’ala membukakan hati kita untuk senantiasa menghias diri dengan rasa malu dan memberikan keistiqamahan dalam menapakinya.
0 comments:
Post a Comment